sapaan

ASSALAMMUALLAIKUM

SELAMAT MENIKMATI

Jumat, 18 November 2011

OPT MELON




Melon (Cucumis melo L.) tergolong tanaman semusim yang tumbuh merambat, berbatang lunak, dari setiap pangkal tangkai daun pada batang utama tumbuh tunas lateral. Pada tunas lateral inilah muncul bunga betina (bakal buah) yang rata-rata mampu menghasilkan 1-2 calon buah. Namun tidak semuanya menjadi buah. Calon buah yang tidak sempat diserbuki akan gugur. Untuk itu kegiatan perempelan tunas lateral harus dan dilakukan kecuali pada tunas lateral yang bakal buahnya akan dijadikan buah (Samadi, 1995).
Menurut Samadi (1995) melon memiliki daya adaptasi yang luas, sehingga dapat tumbuh pada semua jenis tanah asalkan memiliki kandungan bahan organik dan pH tanah mendekati netral. pH optimal yang dikehendaki melon berkisar antara 6,0-6,8. Sistem pembuangan air harus lancar sehingga tidak ada air yang menggenang. Waktu tanam yang paling ideal adalah saat musim kemarau, namun masih dapat tumbuh dan berbuah besar pada musim penghujan walaupun banyak kendalanya seperti serangan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Lamanya penyinaran dan besarnya intensitas cahaya sangat berperan dalam proses fotosintesis. Pada periode pemasakan buah, sinar matahari sangat membantu dalam proses pembentukan kandungan gula sehingga buah melon terasa lebih manis. Di samping itu, sinar matahari dapat mengurangi penyebaran pathogen yang timbul pada udara lembab.
Pengendalian hama terpadu adalah teknologi pengendalian hama yang pendekatannya komprehensif berdasarkan ekologi yang dalam keadaan lingkungan mengusahakan perngintegrasian berbagai taktik pengendalian yang kompatibel satu sama lain serta mempertahankan kesehatan lingkungan dan menguntungkan bagi pihak lain (Hasibuan, 2008).
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, PHT tidak lagi dipandang sebagai teknologi, tetapi telah menjadi suatu konsep dalam penyelesaian masalah lapangan (Kenmore, 1996). Waage (1996) menggolongkan konsep PHT ke dalam dua kelompok, yaitu konsep PHT teknologi dan PHT ekologi. Konsep PHT teknologi merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep awal yang dicetuskan oleh Stern et al. (1959), yang kemudian dikembangkan oleh para ahli melalui agenda Earth Summit ke-21 di Rio de Janeiro pada tahun 1992 dan FAO. Tujuan dari PHT teknologi adalah untuk membatasi penggunaan insektisida sintetis dengan memperkenalkan konsep ambang ekonomi sebagai dasar penetapan pengendalian hama. Pendekatan ini mendorong penggantian pestisida kimia dengan teknologi pengendalian alternatif, yang lebih banyak memanfaatkan bahan dan metode hayati, termasuk musuh alami, pestisida hayati, dan feromon. Dengan cara ini, dampak negatif penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan dapat dikurangi (Untung, 2000).
GAP dapat diaplikasikan dalam rentang waktu dan daerah yang luas terhadap sistem pertanian dengan skala yang berbeda. GAP digunakan dalam sistem pertanian berkelanjutan yang mencakup PHT, pengelolaan hara terpadu, pengelolaan gulma terpadu, pengelolaan irigasi terpadu, dan pemeliharaan (conservation) lahan pertanian. Penerapan PHT diperlukan dalam sistem produksi pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu, GAP harus memiliki empat prinsip utama:
1.        Penghematan dan ketepatan produksi untuk ketahanan pangan (food security), keamanan pangan (food safety), dan pangan bergizi (food quality).
2.        Berkelanjutan dan bersifat menambah (enhance) sumber daya alam.
3.        Pemeliharaan kelangsungan usaha pertanian (farming enterprise) dan mendukung kehidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihoods).
4.        Kelayakan dengan budaya dan kebutuhan suatu masyarakat (social demands).
GAP akan menjangkau beberapa aktivitas yang berkaitan dengan pengendalian hama sebagai berikut:
1.        Penggunaan varietas tahan dalam proses pelepasan beruntun (sequencetial), asosiasi, dan kultur teknis untuk mencegah perkembangan hama dan penyakit.
2.        Pemeliharaan keseimbangan biologi antara hama dan penyakit dengan musuh alami.
3.        Adopsi praktek pengendalian menggunakan bahan organik bila memungkinkan.
4.        Penggunaan teknik pendugaan hama dan penyakit bila telah tersedia.
5.        Pengkajian semua metode yang memungkinkan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, terhadap sistem produksi dan implikasinya terhadap lingkungan guna meminimalkan pemakaian bahan kimia pertanian, khususnya dalam meningkatkan adopsi teknologi PHT.
6.        Penyimpanan dan penggunaan bahan kimia yang sesuai dan teregistrasi untuk individu tanaman serta waktu, dan interval penggunaan sebelum panen.
7.        Pengamanan penyimpanan bahan kimia dan hanya digunakan oleh personel yang sudah terlatih dan memiliki pengetahuan (knowledgeable persons).
8.        Pengamanan peralatan yang digunakan untuk mengatasi bahan kimia dengan meningkatkan keamanan dan pemeliharaan standar.
9.        Pemeliharaan catatan secara akurat terhadap insektisida yang dipakai.
(Effendi, 2009).
Sistem pertanian berkelanjutan merupakan tujuan jangka panjang PHT dengan sasaran pencapaian produksi tinggi, produk berkualitas, perlindungan dan peningkatan kemampuan tanah, air, dan sumber daya lainnya. Konsep pertanian berkelanjutan muncul akibat implementasi pertanian modern yang menurunkan kualitas sumber daya alam. Pertanian modern dengan input tinggi mampu meningkatkan hasil tanaman, namun di sisi lain menimbulkan kerusakan lingkungan yang untuk memperbaikinya diperlukan biaya yang besar. Kerusakan lingkungan antara lain terlihat dari hilangnya permukaan tanah, pencemaran air, hilangnya biodiversitas, ketergantungan pada sumber daya yang tidak dapat diperbarui, dan meningkatnya biaya produksi (Effendi, 2009).
Pembasmi hama dan penyakit menggunakan pestisida dan obat harus secara hati-hati dan tepat guna. Pengunaan pertisida yang berlebihan dan tidak tepat justru dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar. Hal itu disebabkan karena pestisida dapat menimbulkan kekebalan pada hama dan penyakit. Oleh karena itu pengguna obat-obatan anti hama dan penyakit hendaknya diusahakan seminimal dan sebijak mungkin (Anonima, 2009).
Apabila penggunaan pestisida harus dikurangi maka masalah yang kemudian muncul dan dihadapi petani sedunia adalah bagaimana cara penggunaan pestisida agar dapat dikurangi, tetapi kehilangan atau kerugian hasil akibat serangan hama dapat dihindari. Konsep PHT merupakan alternatif yang tepat untuk menjawab dilemma tersebut karena PHT bertujuan untuk membatasi penggunaan pestisida sedikit mungkin, tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi masih bisa dicapai. Secara global,prinsip PHT sangat didorong oleh semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap kualitas lingkungan hidup dan pengembangan konsep pembangunan yang terlajutkan. Usaha PHT merupakan salah satu bentuk usaha manusia untuk lebih mengefisienkan penggunaan sumberdaya alami dalam memenuhi kebutuhan manusia yang terus berkembang lebih luas            (Hasibuan, 2008).
Secara alamiah, sesungguhnya hama mempunyai musuh yang dapat mengendalikannya. Namun, karena ulah manusia, sering kali musuh alamiah hama hilang. Akibatnya hama tersebut merajalela. Salah satu contoh kasus yang sering terjadi adalah hama tikus. Sesungguhnya, secara ilmiah, tikus mempunyai musuh yang memamngsanya. Musuh alami tikus ini dapat mengendalikan jumlah populasi tikus. Musuh alami tikus ialah ular, burung hantu, dan elang. Sayangnya, binatang-binatang tersebut ditangkapi oleh manusia sehingga tikus tidak lagi memiliki pemangsa alami. Akibatnya, jumlah tikus menjadi sangat banyak dan menjadi hama pertanian (Anonima, 2009).
A.      Hama
Tumbuhan tidak selamanya bisa hidup tanpa gangguan. Kadang tumbuhan mengalami gangguan oleh binatang atau organisme kecil (virus, bakteri, atau jamur). Hewan dapat disebut hama karena mereka mengganggu tumbuhan dengan memakannya. Belalang, kumbang, ulat, wereng, tikus, walang sangit merupakan beberapa contoh binatang yang sering menjadi hama tanaman (Anonimb, 2009).
Tanaman melon lebih senang tumbuh di dataran menengah yang suhunya agak dingin, yakni pada ketinggian tempat antara 300-l.000 m dpl. Di dataran rendah yang elevasinya kurang dari 300 m dpl, buah melon berukuran lebih kecil dan dagingnya agak kering (kurang berair). Jenis tanah andosol atau tanah berpasir baik untuk pengembangan melon. Tanah ini mempunyai pH 6-7. Daerah yang bertipe iklim kering tidak disenangi oleh tanaman melon. Tanaman ini tidak toleran terhadap tanah asam (pH rendah) seperti pada semangka. Pada tanah yang ber-pH asam, tanaman melon akan tumbuh kerdil. Tanaman melon lebih peka terhadap air tanah yang menggenang atau kondisi aerasi tanah kurang baik daripada tanaman semangka. Di tempat yang kelembapan udaranya rendah (kering) dan ternaungi, tanaman melon enggan berbunga betina. Tanaman ini lebih senang di daerah terbuka, tetapi sinar matahari tidak terlalu terik, cukup dengan penyinaran 70% (Anonimb, 2009).
Pengamatan tanaman secara rutin perlu dilakukan untuk menjaga agar tanaman tidak terserang hama dan penyakit. Tujuan pengamatan lapangan untuk mengetahui jenis dan populasi organisme pengganggu tanaman, tingkat kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan serta cara yang tepat dalam pengendaliannya. Pengamatan lapang dilakukan dengan mengamati beberapa tanaman yang dipilih secara acak (sistem menyilang) atau sistem zigzag. Setelah pengamatan selesai, dilakukan pengukuran tingkat  serangan. Cara penghitungannya bisa menggunakan rumus :
 P = N2/N1x 100 %       P           = tingkat serangan
                                                N1       = Jumlah populasi tanaman yang diamati
                                                 N2      = jumlah populasi tanaman yang terserang
Hasil dari perhitungan dapat menjadi dasar apakah tanaman cukup diatasi dengan penyemprotan, pencabutan tanaman yang diserang atau pembongkaran seluruh tanaman. Jika tingkat serangan < 20%, hama dan penyakit diambildan dibuang/ dibakar. Sedang jika tingkat serangan > 20% , perlu penyemprotan pestisida dan jika tingkat > 40%, tanaman harus dibongkar (Anonima, 2010).
Salah satu hama yang sering menyerang tanaman melon yaitu kutu aphids (Aphis gossypii Glover ). Ciri- cirinya: hama ini mempunyai getah cairan yang mengandung madu dan dilihat dari kejauhan mengkilap. Hama ini menyerang tanaman melon yang ada di lahan penanaman. Aphids muda yang menyerang melon berwarna kuning, sedangkan yang dewasa mempunyai sayap dan berwarna agak kehitaman. Gejala tanaman yang terserang antara lain : daun tanaman menggulung dan pucuk tanaman menjadi kering akibat cairan daun yang dihisap hama ( Anonimc, 2009 ).
Hama yang ada di kebun melon ini hanya Thrips (Thrips tabacci). Serangga thrips berukuran sangat kecil sekitar 1-2 mm, berwarna coklat-kehitaman, serangga jantan tidak bersayap. Serangga ini meletakkan telurnya pada permukaan daun secara terpencar dan populasinya berkembang secara cepat pada musim kemarau, dan berkurang pada musim penghujan. Serangga ini menyerang dengan cara menghisap cairan pada daun/pucuk daun dengan alat penusuknya sehingga menimbulkan bengkak pada daun seakan-akan keriting. Serangan yang berat menyebabkan perubahan warna pada daun menjadi kecoklatan dan akhirnya tanaman dapat mati (Samadi, 1995).
Strategi peningkatan musuh alami tergantung dari jenis herbivora dan musuh-musuh alaminya, komposisi dan karakteristik tanaman, kondisi fisiologis tanaman, atau efek langsung dari spesies tanaman tertentu.  Ukuran keberhasilan peningkatan musuh alami juga dipengaruhi oleh luasnya areal pertanian, karena mempengaruhi kecepatan perpindahan imigrasi, emigrasi dan waktu efektif dari musuh alami tertentu di lahan pertanian. Seluruh strategi peningkatan keragaman yang digunakan harus didasarkan pada pengetahuan akan kebutuhan ekologis dari musuh-musuh alami.  Untuk meningkatkan keefektifan musuh alami dapat dilakukan dengan memanipulasi sumber daya non target (misal: inang atau mangsa alternatif, nektar, tepungsari, ruang, dan waktu), sehingga bukan hanya kelimpahan sumber-sumber daya non-target saja yang dapat mempengaruhi populasi musuh alami, tetapi juga ketersediaan distribusi spatial dan dispersi sementara. Manipulasi sumber-sumber daya non-target akan merangsang musuh alami membentuk koloni habitat, sehingga meningkatkan kemungkinan musuh alami tetap tinggal pada habitatnya dan berkembang biak (Van Driesche & Bellows Jr., 1996). 
B.       Penyakit
Pada melon ada dua belas penyakit parasitik yaitu layu bakteri (Erwinia tracheiphila), embun bulu (Pseudoperonospora cubensis), busuk pangkal batang (Mycosphaerella melonis), busuk leher batang (Phytium ultimum Trow., Pellicularia filamentosa (Pat.) Rogers, dan Sclerotium rolfsii Sacc.), layu fusarium (Fusarium oxysporum f. sp. Melonis), kudis ( Cladosporium cucumerinum),  antraknosa (Colletotrichum lagenarium), busuk cabang/tangkai (Botryodiplodia theobromae Pat), busuk buah (Phytophthora sp.),  bercak bakteri (Pseudomonas lachrymans), embun tepung (Erysipht cichoracearum), dan penyakit virus. Penyakit yang disebabkan karena defisiensi unsur hara yang utama ada tiga, yaitu defisiensi unsur boron, defisiensi unsur kalium, dan defisiensi unsur magnesium (Samadi, 2007).
Layu bakteri adalah penyakit yang disebabkan oleh patogen Erwinia tracheiphila E.F.Sm., sebuah bakteri gram-negatif dari famili Enterobacteriaceae. Tes diagnostik yang baik untuk layu bakteri yaitu dengan memotong bagian tanaman yang terserang, misalnya batang. Lalu tekan antara jari-jari sampai tetesan cairan putih muncul di permukaan bagian yang dipotong. Tarik kedua bagian yang  terpotong kearah yang berlawanan. Tanaman ini positif untuk layu bakteri jika terdapat lendir seperti benang halus yang diperpanjang untuk beberapa sentimeter. Lendir berwarna putih merupakan tanda keberadaan bakteri, yaitu ooze bakteri (Zai, 2009).
Penyebab penyakit layu bakteri pada tanaman melon yaitu bakteri Erwina tracheiphila E.F.Sm. Penyakit ini dapat disebarkan dengan perantara kumbang daun oteng-oteng (Aulacophora femoralis Motschulsky). Gejala: daun dan cabang layu dan terjadi  pengkerutan pada daun, warna daun menguning, mengering dan akhirnya mati; daun tanaman layu satu per satu, meskipun warnanya tetap hijau, kemudian tanaman layu secara keseluruhan. Apabila batang tanaman yang dipotong melintang akan mengeluarkan lendir putih kental dan lengket bahkan dapat ditarik seperti benang. Pengendalian dengan menggunakan Natural GLIO sebelum tanam                               (Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, 2002).
Layu bakteri disebarkan oleh kumbang mentimun bergaris (Acalymma vittata) dan kumbang mentimun (Diabrotica undecimpunctata). Bakteri bertahan di usus mereka. Setiap kumbang terkontaminasi dapat menginfeksi setidaknya tiga atau empat tanaman sehat setelah sekali makan pada tanaman sakit, beberapa kumbang mampu menyebarkan infeksi selama lebih daripada tiga minggu setelah sekali makan tanaman sakit (Agrios, 1978).
Penyakit layu fusarium merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum (Schlecth). Jamur ini membentuk miselium bersekat dan dapat tumbuh dengan baik pada bermacam-macam medium agar yang mengandung ekstrak sayuran. F. oxysporum f,sp lycopersici dapat bertahan lama dalam tanah. Tanah yang sudah terinfeksi sukar di bebaskan kembali dari jamur ini. Jamur dapat memakai bermacam-macam luka untuk jalan infeksinya, misalnya luka yang terjadi karena pemindahan bibit, karena pembunuhan atau luka karena serangga dan nematode (Gilang, 2009).
Menurut Agrina (2008) layu fusarium (Fusarium sp.) dan bakteri (Pseudomonas sp.) memiliki perkembangan yang sangat cepat pada kelembaban tinggi pada musim hujan. Serangan ini dapat timbul akibat pemupukan N terlalu tinggi, tanah masam, dan drainase yang kurang baik. Pengendalian yang dapat dilakukan yaitu pengapuran dolomit minimal 1 ton per-ha saat pengolahan tanah, penyemprotan fungisida dan bakterisida.
Penyakit Embun Bulu (Downny Mildew) di tahun 1980-an belum merupakan penyakit serius tanaman melon. Namun, akhir-akhir ini menjadi ancaman serius bagi petani melon. Penyakit ini merupakan penyakit yang terpenting pada tanaman labu-labuan dan dapat menyerang pada macam-macam famili ini, seperti: timun, melon, semangka, labu air, labu siam, gambas, dan bestru. Penyakit ini disebut embun bulu, karena massa jamur pada bercak nampak seperti bulu. Gejala terlihat saat pagi hari atau cuaca lembab, yaitu pada daun ditandai dengan adanya bercak yang berwarna kuning sampai coklat berwarna putih sampai hitam seperti bulu. Bercak-bercak berwarna kuning muda yang dibatasi oleh urat-urat daun sehingga terkesan menjadi bercak bersudut. Semakin lama, bercak semakin meluas ke seluruh daun, proses fotosintesis akan tergannggu dan akhirnya dapat menurunkan produksi, bahkan dapat menggagalkan panen. Apabila tidak dilakukan pengendalian dengan fungisida yang selektif maka tanaman akan mati (Ushwan, 2010).
Menurut Prajnanta (2004) patogen penyebab penyakit embun bulu adalah jamur Pseudoperonospora cubensis yaitu suatu jamur yang bersifat parasit obligat dari klas Oomycetes. Karena sifatnya yang obligat maka jamur ini tidak dapat hidup dari sisa-sisa tanaman (saprofit), sehingga patogen jamur ini akan bertahan dari musim ke musim dari tanaman labu-labuan yang selalu terserang. Adapun penyebaran dan penularan penyakit ini diawali dengan terpencarnya spora jamur dari bagian daun tanaman yang sakit. Spora terpencar oleh angin dan apabila spora ini menempel pada daun tanaman labu-labuan yang sehat maka tanaman sehat akan tertular.
C.      Gulma
Gulma adalah tumbuhan pengganggu, bisa berupa tumbuhan liar atau sisa-sisa tanaman budidaya yang sebelumnya ditumpangsarikan dengan tanaman utama. Keberadaan gulma bisa berakibat fatal bagi tanaman utama. Tanaman pengganggu ini bukan hanya menyebabkan pelambatan saat berbuah, tetapi juga potensial mematikan tanaman. Pasalnya, gulma bisa menjadi agen penyebar virus, bakteri, serta cendawan penyebab penyakit. Selain itu, gulma juga bisa menjadi inang atau tempat hidup hama, seperti ulat dan belalang (Mimbar Penyuluh, 2010).
Dalam pertumbuhan tanaman terdapat selang waktu tertentu dimana tanaman sangat peka terhadap persaingan gulma. Keberadaan atau munculnya gulma pada periode waktu tersebut dengan kepadatan tertentu yaitu tingkat ambang kritis akan menyebabkan penurunan hasil secara nyata. Periode waktu dimana tanaman peka terhadap persaingan dengan gulma dikenal sebagai periode kritis tanaman. Periode kritis adalah periode maksimum dimana setelah periode tersebut dilalui maka keberadaan gulma selanjutnya tidak terpengaruh terhadap hasil akhir. Dalam periode kritis, adanya gulma yang tumbuh di sekitar tanaman harus dikendalikan agar tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan hasil akhir tanaman tersebut (Anonim, 2000).
Gulma dan pertanaman mengadakan persaingan memperebutkan hara, air dan cahaya, sehingga TCV = CVN + CVW + CVL. Besar kecilnya persaingan gulma terhadap tanaman pokok akan berpengaruh terhadap baik buruknya pertumbuhan tanaman pokok dan pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya hasil tanaman pokok. Tinggi rendahnya hasil tanaman pokok, jika dilihat dari segi gulmanya sangat ditentukan oleh kerapatan gulma, macam gulma, saat kemunculan gulma, kecepatan tumbuh gulma, lama keberadaan gulma, habitus gulma, jalur fotosintesis gulma (C3 atau C4), dan ada tidaknya allelopati (Anonim, 2002 ).
Gulma pada tanaman buah semusim bisa dikendalikan dengan pemakaian mulsa. Ada dua jenis mulsa yang sering digunakan pekebun, yakni mulsa jerami dan mulsa plastik hitam perak. Menggunakan mulsa jerami mempunyai keuntungan ganda, karena jerami juga berfungsi sebagai pupuk organik. Mulsa hitam perak juga tidak hanya menekan pertumbuhan gulma, tapi juga bisa menjaga kelembaban tanah di sekeliling tanaman. Namun, penggunaan mulsa plastik hitam perak harus diperhitungkan secara cermat. Mulsa hitam perak dirancang khusus untuk pengairan dengan penggenangan atau irigasi tetes. Para pekebun di Taiwan, sebagai negara yang memproduksi bahan ini pun lebih banyak yang menggunakan mulsa jerami              (Mimbar Penyuluh, 2010).
Gulma yang selalu tumbuh di sekitar pertanaman (crop) mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan serta hasil akhir. Adanya gulma tersebut membahayakan bagi kelangsungan pertumbuhan dan menghalangi tercapainya sasaran produksi pertanaman pada umumnya. Pengendalian gulma hendaknya dilaksanakan jika kita telah memiliki pengetahuan tentang gulma itu. Dengan pengalaman pengetahuan tersebut, pengendailan gulma dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu dengan cara mekanik, biologis, preventif, kultur teknis, ekologis, terpadu, kimiawi          (Moenandir, 1988).
Pengendalian mekanis merupakan usaha menekan pertumbuhan gulma dengan cara merusak bagian-bagian sehingga gulma tersebut mati atau pertumbuhannya terhambat. Teknik pengendalian ini hanya mengandalkan kekuatan fisik atau mekanik. Cara ini umumnya cukup baik dilkaukan pada berbagai jenis gulma setahun, tetapi pada kondisi tertentu juga efektif bagi gulma-gulma tahunan (Sukman dan Yakup, 2002).
Pencabutan dengan tangan atau disebut penyiangan dengan tangan merupakan cara yang praktis, efesien, dan terutama murah jika diterapkan pada suatu area yang tidak luas, seperti di halaman, dalam barisan dan guludan di mana alat besar sulit untuk mencapainya dan di daerah yang cukup banyak tenaga kerja. Pencabutan dengan tangan ditujukan pada gulma annual dan biennial. Untuk gulma perennial pencabutan semacam ini mengakibatkan terpotong dan tertinggalnya bagian di dalam tanah yang akhirnya kecambah baru dapat tumbuh. Pencabuatn bagi jenis gulma yang terakhir ini menjadi berulang-ulang dan pekerjaan menjadi tidak efektif. Pelaksanaan pencabutan terbaik adalah pada saat sebelum pembentukan biji (Moenandir, 1988).
Ada beberapa cara pengendalian penyakit layu bakteri, yaitu :
1.         Pengaturan drainase, terutama pada musim hujan. Diusahakan tidak ada air yang menggenang di antara bedengan. Di sekitar tanaman melon sebaiknya bersih dari gulma dan kondisi bedengan kering (tidak terlalu lembab).
2.         Pengolahan tanah dilakukan dengan sempurna sehingga dapat mengganggu atau mematikan struktur bertahan patogen ini.
3.         Sebelum ditanami, lahan disterilisasi dengan Basamid G dengan dosis 40 g/m2.
4.         Pengendalian yang tidak kalah penting adalah dengan mengendalikan populasi serangga vektor.
Pada lahan melon yang diamati pengendalian hama dilakukan secara kimiawi dengan penyemprotan fungisida dan bakterisida setiap hari. Hal ini sangat efaktif untuk mengendalikan serangan penyakit layu bakteri dan serangga vektor. Namun metode yang diterapkan oleh petani dengan penyemprotan menggunakan fungisida sebaiknya dikurangi porsinya, karena perlakuan seperti itu akan berdampak pada pencemaran lingkungan dan menurunkan keseimbangan ekosistem lahan. Perlakuan yang benar adalah dengan melakukan pengendalaian hama dan penyakit sesuai dengan prinsip pengendalain hama terpadu yang berwawasan lingkungan dan berdasar pada konsep pertanian berkelanjutan. Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki saluran draenase pada lahan untuk menekan perkembangan bakteri serta melakukan perlakukan pada benih dengan tindakan preventif, yaitu dengan perlakuan benih. Benih direndam dalam larutan bakterisida Agrimycin (oxytetracycline dan streptomycin sulfate) atau Agrept (streptomycin sulfate) dengan konsentrasi 1,2 g/l dan penyemprotan bakterisida ini pada 20 HST.
Langkah pembrantasan yang mengacu dengan metode PHT adalah pengendalian serangga vektor yaitu kumbang mentimun bergaris (Acalymma vittata) dan kumbang mentimun (Diabrotica undecimpunctata). Pengendalian dapat dilakukan dengan rotasi tanaman untuk memutus siklus serangga vektor, melakukan penanaman tanaman yang berbeda famili pada lahan melon. Dari hasil pengamatan kondisi lingkungan lahan pertanaman melon, menunjukan bahwa draenase buruk hal ini tidak memperhatikan aspek ekologi dimana pada kondisi tersebut penyakit ini berkembang baik.
Embun Bulu (Downy Mildew) penyakit ini di tahun 1980-an belum merupakan penyakit serius tanaman melon. Namun, akhir-akhir ini menjadi ancaman serius bagi petani melon. Penyakit ini merupakan penyakit yang terpenting pada tanaman labu-labuan dan dapat menyerang pada macam-macam famili ini, seperti: timun, melon, semangka, labu air, labu siam, gambas dan bestru. Penyakit ini disebut embun bulu, karena massa jamur pada bercak nampak seperti bulu.
Gejala terlihat saat pagi hari atau cuaca lembab, yaitu pada daun ditandai dengan adanya bercak yang berwarna kuning sampai coklat berwarna putih sampai hitam seperti bulu. Bercak-bercak berwarna kuning muda yang dibatasi oleh urat-urat daun sehingga terkesan menjadi bercak bersudut. Semakin lama, bercak semakin meluas ke seluruh daun, proses fotosintesis akan tergannggu dan akhirnya  dapat menurunkan produksi, bahakan dapat menggagalkan panen. Apabila tidak dilakukan pengendalian dengan fungisida yang selektif maka tanaman akan mati.
Patogen penyebab penyakit Embun Bulu (Downy Mildew) adalah jamur Pseudoperonospora cubensis yaitu suatu jamur yang bersifat parasit obligat dari klas Oomycetes. Karena sifatnya yang obligat maka jamur ini tidak dapat hidup dari sisa-sisa tanaman (saprofit), sehingga patogen jamur ini akan bertahan dari musim ke musim dari tanaman labu-labuan yang selalu terserang. Adapun penyebaran dan penularan penyakit ini diawali dengan terpencarnya spora jamur dari bagian daun tanaman yang sakit. Spora terpencar oleh angin dan apabila spora ini menempel pada daun tanaman labu-labuan yang sehat maka tanaman sehat akan tertular. Keadaan ini akan parah apabila kondisi cuaca mendukung untuk perkembangan patogen. Kondisi iklim yang mendukung perkembangan patogen yaitu kelembaban 100 % suhu 10-20oC dengan suhu optimum perkembangan 16-22o C dan akan berkembang cepat apabila terdapat banyak kabut dan embun.
Usaha-usaha pengendalian penyakit Downey mildew dapat dilakukan dengan sanitasi maupun dengan menggunakan fungisida protektif dan sistemik. Sanitasi yaitu dengan membersihkan sisa-sisa tanaman tua dari jenis labu-labuan dan tidak menanam didekat tanaman yang sudah tua. Aplikasi fungisida dapat menggunakan Kocide 77 WP, Antracol, Dithene M-45, Kocide 60 WDG atau fungisida kontak yang lain dengan konsentrasi 2 gram per liter. Apabila dijumpai serangan yang berat sangat dianjurkan untuk menggunakan fungsida sistemik Saromyl 35 SD melalui penyemprotan dengan konsentrasi 0.5 gram per liter.
Hal-hal penting yang mendukung pengendalian yaitu :
1.         Lokasi tanaman dipilih yang bukan bekas atau jauh dari tanaman mentimun.
2.         Tanaman yang terserang parah dimusnahkan dengan cara dicabut dan dibakar agar tidak menular ke tanaman sehat.
Dalam praktek di lahan melon bejen, pengendalian penyakit Downey mildew dilakukan dengan penyemprotan dengan menggunakan fungisida, pengendalian seperti ini sebaiknya dilakukan dan diambil pada tahap terakhir saat pengendalain secara teknis sudah tidak dapat mengatasi penyakit di lahan. Namun pada sistem pertanaman melon di desa bejen, fungisida merupakan langkah awal yang dilakukan untuk mengatasi penyakit Downey mildew. Pengendalian seperti ini tidak baik dilakukan. Langkah pengendalian yang sebaiknya dilakukan adalah pengendalian secara teknis yang dapat dilakukan dengan pencabutan, pembuangan dan pembakaran tanaman yang terserang penyakit. Hal yang penting untuk dilakukan adalah pemilihan lokasi tanaman dipilih yang bukan bekas atau jauh dari tanaman mentimun. Hal ini sangat penting karena penyakit ini dapat hidup pada inang yang telah mati bekas dari pertanaman sebelumnya.
Busuk Pangkal Batang (Gummy Stem Blight) Penyakit Busuk Pangkal Batang cukup banyak ditemukan di sentra-sentra penanaman melon di Indonesia. Penyakit busuk pangkal batang merupakan penyakit yang disebabkan oleh cendawan Mycosphaerella melonis (Passerini) Chiu et Walker. Cendawan ini merupakan salah satu cendawan yang paling merusak pada melon. Mycosphaerella melonis (Pass.) WF Chiu & JC Walker (1949), merupakan sinonim dari Didymella bryoniae (Fuckel) Rehm, (1881). Cendawan ni berasal dari filum Ascomycota yang bersifat nekrotik fakultatif. Penyebaran patogen ini melalui penyebaran konidianya, bisa dengan angin atau percikan air hujan. Penyebarannya juga bisa melalui serangga vektor, yaitu kumbang mentimun (Diabrotica undecimpunctata howardii Barber dan Fabricius vittatum Acalymma) secara nonpersistent. Jika kumbang mentimun ini melukai tanaman yang sehat, maka akan berpeluang terinfeksi penyakit busuk pangkal batang.
Gejala yang muncul  yaitu pada pangkal batang yang terserang mula-mula seperti tercelup minyak kemudian keluar lendir berwarna merah cokelat. Tahap berikutnya tanaman layu dan mati. Selain menyerang batang, penyakit ini juga merupakan momok utama petani melon apabila menyerang daun. Daun tanaman yang terserang akan mengering, apabila diremas seperti kerupuk dan berbunyi kresek-kresek apabila diterpa angin. Oleh karena itu, di beberapa sentra penanaman melon penyakit ini disebut juga “penyakit kresek”.
Keadaan yang mendukung berkembangnya penyakit ini apabila sistem drainase yang buruk, mengakibatkan kelembaban di area pertanaman tinggi, sehingga mendukung pertumbuhan cendawan. Suhu optimal untuk perkembangan penyakit berkisar dari 20oC hingga 28oC. Kelembaban sangat diperlukan untuk pertumbuhan jamur; selama periode curah hujan sering banyak coklat gelap, ostiolate, sebagian pycnidia terbenam atau perithecia hitam diproduksi pada lesi (Chupp dan Sherf, 1960; Punithalingam dan Holliday, 1972; Luepschen 1961; Chiu, 1948).
Pengendalian untuk penyakit busuk pangkal batang yaitu :
1.         Menggunakan mulsa plastik hitam-merah untuk mencegah kelembaban di sekitar pangkal batang dan mencegah luka di perakaran maupun pangkal batang karena penyiangan.
2.         Pada daerah yang sering ditanami melon, sebaiknya dilakukan sterilisasi lahan dengan Basamid G dengan dosis 40 g/m2.
3.         Daun-daun tanaman yang terserang dibersihkan (dirompes) kemudian tanaman disemprot dengan fungisida Derosal 500 SC (Carbendazim) dengan konsentrasi 1-2 ml/l. Pangkal batang yang terserang diolesi dengan fungisida Calixin 750 EC (Tridemorf) dengan konsentrasi 5 ml/l, agar patogen mati dan tidak berpindah ke tanaman lain yang masih sehat.
Penyakit layu Fusarium, Gejala serangan yang pertama kali terlihat adalah ujung sulur menguning dan layu. Beberapa hari kemudian daun-daun bagian bawah menguning, layu dan mengering. Gejala tersebut kemudian meluas pada daun-daun di bagian atas dan akhirnya seluruh daun layu dan akhirnya tanaman mati.
Penyebab penyakit layu Fusarium, pengamatan mikroskopik terhadapa pangkal batang tanaman yang nymemperlihatkan gejala layu fusarium menunjukkan adanya makrokonidia dan makrokonidia Fusarium sp. Makrokonidia hialin berbentuk  lengkung, yang mempunyai 0-5 sekat. Makrokonidia hialin berbentuk oval yang terdiri atas satu sel. Fusarium dapat hidup saprofitik pada sisa-sisa tanaman dan mampu bertahan di dalam tanah dalam jangka waktu yang lama. Fungi ini masuk ke dalam tanah melalui ujung-ujung akar yang luka.
Beberapa upaya pengendalian penyakit layu fusarium dapat dicegah dengan aplikasi benzidazol dan karbendazim (75 g/100 liter; 5,5 liter/m2) atau thiophanatemethyl (75 g/100 liter; 10 liter/m2 (Salinger, 1985). Untuk mengendalikan layu fusarium dilakukan dengan fumigasi tanah dengan metil bromida (800 kg/ha). Akan tetapi perlakuan fumigasi itu tidak mampu mengeradikasi patogen penyebab layu secara sempurna, terutama pada lapisan tanah yang agak dalam (Ben-yephet et al., 1996). Oleh karena itu, perlu dicari cara-cara pengendalian alternatif yang sesuai dengan falsafah pengendalian penyakit tanaman yang mempertimbangkan aspek keamanan lingkungan (De Bach, 1974).
Salah satu alternatif untuk memperkecil dampak lingkungan yaitu pengendalian secara hayati. Beberapa isolat maikroba antagonis, misalnya Pseudomonas fluorescens, Gliocladium sp., Trichoderma harzianum dan Bacillus sp. telah dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman. Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. mempunyai kemapuan menekan patogen tular tanah seperti Botrytis cinerea pada buncis (Papavizas, 1985), fusarium pada melon (Nurwardani, 1996) dan fusarium pada sedap malam (Nuryani dan Djatnika, 1999). Pseudomonas sp. strain WCS 417 r mampu mengiduksi resistensi dan mengakumulasi fitoaleksin tanaman anyelir dalam menanggulangi layu fusarium (Van Peer et al., 1991) dan P. fluorescens + air steril+ Mg So4 mampu menekan layu fusarium pada anyelir (Nuryani et al., 2001). Laboratorium Biocontrol Balai Penelitian tanaman Hias segununung telah mengisolasi dan mengkoleksi beberapa mikroba antagonis diantaranya P. fluorescens, Gliocladium sp. Trichoderma harzianum dan Bacillus sp.. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pengendalian peyakit yang efektif dan ramah lingkungan dengan eksploitasi agens hayati.
DAFTAR PUSTAKA


Agrina. 2008. Kuncinya Adalah Pemantauan. Tabloid Agribisnis Agrina. PT Permata Wacana Lestari. Jakarta Selatan.
Agrios, George N.1978. Plant Pathology. Second Ed.Elsevier Academic Press:USA.
Agrios,George N.1978. Plant Pathology. Second Ed.Elsevier Academic Press:USA.
Anonim .2002. Pengendalian Gulma. http://id.shvoong.com. Diakses pada tanggal 3 Desember 2010 pada pukul
Anonim. 2000. Gulma Tanaman. http://eone87.wordpress.com. Diakses pada tanggal 3 Desember 2010 pada pukul
Anonim. 2010. Pengendalian Hama dan Penyakit Buah Melon. http://www.cyberextension. web.id. Diakses pada tanggal 11 Desember 2010.
Anonima. 2009. Hama dan Penyakit pada tumbuhan. http://rhee7.wordpress.com. Diakses pada tanggal 10 Desember 2010 pukul 13.00 WIB.
Anonimb. 2009. Budidaya Melon family Cucurbitaceae. http://ayobertani.wordpress.com. Diakses tanggal 11 Desember 2010 pada pukul 15.00 WIB.
Anonimc, 2009. Hama pada tanaman Buah Melon. http://www. agromaret.com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2010 pada pukul 16.00 WIB.
Departemen Pertanian. 2003. Kebijakan dan Strategi Nasional Perlindungan Tanaman dan Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian, Jakarta. 140 hlm.
Effendi, B. Suherlan. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi dalam Perspektif Praktek Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices). Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang.
Gilang. 2009. Penyakit Layu Fusarium (Fusarium Oxysporum) http://www.redholic.web.id. Diakses pada tanggal 11 Desember 2010 pada pukul 12.00 WIB.
Hasibuan, Muainah. 2008. Kajian Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada Petani di Kabupaten Tapanuli Selatan. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Kenmore, P.E. 1996. Integrated Pest Management in Rice. p. 76-97. In G.J.
Mastani. 2009. Klasifikasi Gulma. http://pertanian.blogdetik.com/. Diakses pada tanggal 1 Desember 2010 pukul 11.00 WIB.
Mimbar Penyuluh. 2010. Kendalikan Gulma, Hama Penyakit Untuk Percepat Pembuahan. http://www.sinartani.com. Diakses pada tanggal 3 Desember 2010 pada pukul
Moenandir. 1988. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Persley (Ed.). Biotechnology and Integrated Pest Management. CAB International, Cambridge.
Prajnanta, Final. 2004. Melon, Pemeliharaan Secara Intensif dan Kiat Sukses Beragribisnis. Penebar Swadaya: Jakarta.
Prajnanta, Final. 2004. Melon, Pemeliharaan Secara Intensif dan Kiat Sukses Beragribisnis. Penebar Swadaya:Jakarta.
Prihatman, Kemal. 2000. Melon (Cucumis melo L.). http://Info Pekalongan.com. Diakses pada tanggal 1 Desember 2010 pukul 11.00 WIB.
Samadi, Budi. 1995. Usahatani Melon. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan. 2000. Melon (Cucumis melo L.). BAPPENAS. Jakarta.
Stern, V.W., R.F. Smith, R. van den Bosch, and K.S. Hagen. 1959. The Integrated Control Concept. Hilgardia 29(2): 81-101.
Sukman, Y., dan Yakup. 1991. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Sukman, Yernelis, dan Yakub. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Palembang.
Tustiana, Agung. 2008. Pengendalian Gulma. Universitas Bengkulu.
Untung, K. 2000. Pelembagaan Konsep Pengendalian Hama Terpadu Indonesia. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 6(1): 1-8.
Ushwanu, Uri. 2010. Penyakit Pada Tumbuhan Melon. http://ushwanuuri08.student.ipb.ac.id. Diakses pada tanggal 11 Desember 2010.
Van Driesche, R.G. & T.S. Bellows Jr. 1996.  Biological Control. Chapman and Hall. New York.
Waage, J. 1996. Integrated













1 komentar: