sapaan

ASSALAMMUALLAIKUM

SELAMAT MENIKMATI

Jumat, 18 November 2011

OPT CABAI


                                                                                                                                      


A.    Hama
Secara umum maupun khusus sangat penting kaitannya dalam budidaya tanaman cabai. Hal ini disebabkan efek negatif yang ditimbulkan oleh hama tersebut tidaklah kecil, sering menimbulkan kerugian yang sangat besar baik dari sisi produksi maupun finansial. Pada kesempatan ini dicoba untuk memberikan pengenalan secara umum mengenai beberapa jenis hama yang sering menyerang dalam usaha pembudidayan tanaman cabai. Semoga paparan sekilas ini dapat memberikan gambaran secara umum sehingga dapat membantu upaya pengidentifikasian dini, untuk selanjutnya dapat ditentukan tindakan penanggulangannya secara cepat dan tepat (Andrey, 2010).
Kutu daun persik memiliki alat tusuk isap, biasanya kutu ini ditemukan dipucuk dan daun muda tanaman cabai. Ia mengisap cairan daun, pucuk, tangkai bunga dan bagian tanaman yang lain sehingga daun jadi keriting dan kecil warnanya belang kekuningan, layu dan akhirnya mati. Melalui angin kutu ini menyebar ke areal kebun. Efek dari kutu ini menyebabkan tanaman kerdil, pertumbuhan terhambat, daun mengecil. Kutu ini mengeluarkan cairan manis yang dapat menutupi permukaan daun akan ditumbuhi cendawan hitam jelaga sehingga menghambat proses fotosintesis. Kutu ini juga ikut andil dalam penyebaran virus. Pengendalian dengan cara menanam tanaman perangkap (trap crop) di sekeliling kebun cabai seperti jagung. Kendalikan dengan kimia seperti Curacron 500 EC, Pegasus 500 SC, Decis 2,5 EC, Hostation 40 EC, Orthene 75 SP (Endros, 2008).
            4
 
Salah satu hama yang menyerang pertanaman cabai merah adalah hama lalat buah yang ditemukan  di Indonesia yaitu Dacus sp. Namun menurut klasifikasi terakhir yang ditemukan oleh Drew pada tahun  1989 ternyata lalat buah yang banyak di Indonesia adalah Bactocera sp.     (Kuswadi, 2001).
Sastrodihardjo (1979) menyatakan bahwa zat penarik (attractance) ialah suatu zat yang menarik serangga menuju ke arah sumber zat itu. Sumber  zat penarik terdapat pada serangga, burung, hewan menyusui, tumbuh-tumbuhan segar dan tumbuh-tumbuhan yang telah membusuk.
Djamin (1985) menyatakan bahwa pemakaian insektisida yang terus menerus akan mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan, manusia, hewan ternak maupun musuh alami hama dan serangga  yang berguna lainnya. Disamping itu dapat juga menimbulkan resistensi hama serangga, resurgensi hama, eksplosi hama kedua sehingga kerusakan terhadap tanaman akan semakin meningkat.
Perkembangan penyakit kuning keriting ini sangat ditentukan oleh keberadaan serangga yang berperan sebagai vektor yang ditularkan oleh kutu kebul (Bemisia tabaci) (Homoptera: Aleyrodidae). Serangga ini mempunyai daerah sebaran yang luas terutama di daerah tropik dan sub tropik        (Hidayat 2006).
Penggunaan pestisida yang berlebihan tersebut telah menimbulkan dampak buruk seperti resistensinya beberapa hama tanaman cabai terhadap insektisida, timbulnya resurgensi, berkurangnya atau musnahnya musuh alami seperti parasitoid dan predator, pencemaran tanah dan air serta keracunan pada petani. Oleh karena itu perlu dicari alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan, ekonomis dan mudah diterapkan oleh petani (Syaiful, 2005).
 Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai konsep dan kebijakan pemerintah dalam setiap program perlindungan tanaman, merupakan konsep yang tepat untuk memperbaiki keadaan dan kehidupan petani cabai sehingga sumberdaya yang dimiliki dapat mereka manfaatkan secara optimal. Untuk mendukung konsep PHT tersebut telah ditemukan metoda pengendalian dengan menggunakan pestisida biorasiona (Prjinono, 1999).
Jenisjenis hama yang banyak menyerang tanaman cabai antara lain kutu daun dan trips. Kutu daun menyerang tunas muda cabai secara bergerombol. Daun yang terserang akan mengerut dan melingkar. Cairan manis yang dikeluarkan kutu, membuat semut dan embun jelaga berdatangan. Embun jelaga yang hitam ini sering menjadi tanda tak langsung serangan kutu daun. Pengendalian kutu daun (Myzus persicae Sulz) dengan memberikan pestisida sistemik pada tanah sebanyak 6090 kg/ha atau sekitar 2 sendok makan/10 m2 area (Pracaya, 1999).
Hama trips (Thrips tabacci) dapat dicegah dengan banyak cara yaitu:
1.      Pemakaian mulsa jerami
2.      Pergiliran tanaman
3.      Penyiangan gulma atau rumputan pengganggu, dan menggenangi lahan dengan air selama beberapa waktu.
4.      Pemberian pestisida sistemik pada waktu tanam seperti pada pencegahan kutu daun mampu mencegah serangan hama trip juga. Akan tetapi, untuk tanaman yang sudah cukup besar, dapat disemprot dengan insektisida (Triharso, 1994).
B.     Penyakit
Tanaman yang terkena penyakit ujung keriting daunnya menguning dan mengeriting. Selain itu, tanaman menjadi kerdil. Jika tanaman yang lebih tua terinfeksi, daunnya menggulung ke atas dan memutar atau memilin daun yang muda. Tanaman cabai pada semua tingkatan pertumbuhan dapat terserang penyakit ini, tetapi yang paling peka adalah tanaman yang muda. Buah cabai akan menjadi masak lebih awal sebelum waktunya (Pracaya, 2009).
Umumnya yang menularkan penyakit ujung keriting ini adalah serangga keluarga Yassidae seperti Empoasca Walsh, Eutettix tenellus Baker (banyak menyerang tanaman bit di Amerika Serikat), Cicadula zetterstedt, Deltochepalus burmeister, dan Jassus Fab. Kutu daun loncat ini dari tingkatan muda sampai dewasa bisa menularkan penyakit. Sekali memakan tanaman yang sakit, virus akan masuk dalam tubuh dan bisa keluar lagi jika kutu daun loncat itu mengisap tanaman yang sehat (Semangun, 1994).
TMV singkatan dari tomato mosaic virus. Penyakit ini banyak menyerang tanaman tomat, tetapi banyak juga ditemukan virus ini menyerang tanaman selain tomat, seperti cabai, semangka maupun buncis. Bentuk virus seperti batang dengan ukuran lebar 18 nanometer dan panjang 300 nanometer (1 nanometer = 0,001 mikron). Gejala yang ditimbulkan dari penyakit ini adalah dengan adanya keriting pada daun (Tukidjo, 1994).
Suhu yang ideal untuk budidaya cabai adalah 24 – 28oC. Pada suhu <15oC > 32oC buah yang dihasilkan kurang baik. Suhu yang terlalu dingin menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, pertumbuhan bunga kurang sempurna dan pemangkasan buah lebih lama. Kelembaban relatif (RH) untuk tanaman cabai sebesar 80%. Adanya curah hujan yang tinggi akan meningkatkan kelembaban di sekitar pertanaman. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan meningkatkan intensitas serangan bakteri Pseudomonas solanacearum penyebab layu akar, dan merangsang perkembangbiakan cendawan dan bakteri (Riva, 2009).
Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan yang memiliki nama ilmiah Capsicum annum Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia.Tanaman cabai banyak ragam tipe pertumbuhan dan bentuk buahnya. Diperkirakan terdapat 20 spesies yang sebagian besar hidup di Negara asalnya. Masyarakat pada umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja, yakni cabai besar, cabai keriting, cabai rawit dan paprika (Hanum, 2008).
C.    Gulma
Tanaman cabai (Capsicum annuum L) sebagai salah satu tanaman hortikultura yang banyak sekali dikonsumsi, merupakan tanaman yang terpengaruh pertumbuhannya apabila iklim mikro di sekitar tanaman mengalami perubahan. Menurut Sunaryono (1990) faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhannya meliputi : sinar matahari, curah hujan, kelembaban, suhu udara dan angin. Tanaman cabai (Capsicum annuum L) merupakan tanaman sayuran yang mempunyai sistim perakaran agak dalam, tetapi sangat peka terhadap kekurangan air. Tanaman ini sering ditanam sepanjang tahun biasanya dilakukan pada awal musim hujan untuk lahan tegalan dan pada awal musim kemarau untuk lahan sawah, sedangkan di daerah kering banyak diusahakan pada musim hujan, kendalanya adalah tidak tahan terhadap adanya genangan air maupun kekeringan                   (Koesriharti et al, 1999).
Perbedaan regional dalam topografi, geografi dan cuaca menyebabkan terjadinya perbedaan dalam tanaman, pola tanam, metode bercocok tanam dan situasi sosio-ekonomi (Djafaruddin, 2000). Pola tanam dari beberapa tanaman yang ditanam terus menerus serta keadaan iklim yang cocok akan meningkatkan dan kompleksnya serangan hama, penyakit dan gulma (Triharso, 1996).
Menurut Lamont (1993) penggunaan mulsa anorganik antara lain dapat mempercepat tanaman berproduksi, meningkatkan hasil per satuan luas, efisien dalam penggunaan pupuk dan air, mengurangi erosi akibat hujan dan angin, mengurangi serangan hama dan penyakit tanaman, menghambat pertumbuhan gulma, mencegah pemadatan tanah dan mempunyai kesempatan untuk menanam pada bedengan yang sama lebih dari satu kali.
Pemulsaan memliki beberapa penjelasan antara lain:
1.   Penggunaan mulsa pada budidaya cabai merupakan salah satu usaha untuk memberikan kondisi lingkungan pertumbuhan yang baik.
2.   Mulsa dapat memelihara struktur tanah tetap gembur, memelihara kelembaban dan suhu tanah. Juga akan mengurangi pencucian hara, menekan gulma dan mengurangi erosi tanah.
3.   Mulsa plastik hitam perak dapat digunakan untuk penanaman cabai, dipasang sebelum tanam cabai.
4.   Penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat meningkatkan hasil cabai, mengurangi kerusakan tanaman karena hama trips dan tungau, dan menunda insiden virus.
5.   Penggunaan mulsa jerami setebal 5 cm (10 ton/ha) juga dapat meningkatkan hasil cabai, tetapi mulsa jerami sebaiknya digunakan pada musim kemarau, dipasang 2 minggu setelah tanam
6.   Pada penanaman sistem tradisional belum melakukan pengolahan tanah, hanya saja menggali menjelang tanam. Sedangkan pada teknologi anjuran pengolahan tanah baru dilakukan 1-2 kali dan dibuat bedengan, drainase yang baik serta pemasangan mulsa MPHP maupun jerami. Selain mulsa plastik hitam-perak (MPHP) mulsa jerami dapat juga diberikan sebanyak 5 ton/ha. Pemasangan mulsa dikerjakan setelah penyiraman secukupnya dan pemberian pupuk dasar (Wardani, Nila dkk, 2008)
Salah satu cara untuk mengatasi kekeringan adalah dengan cara pemberian mulsa, karena mulsa dapat menghambat laju evapotranpirasi, efesiensi pemakaian air, menekan pertumbuhan gulma, mencegah erosi, mereduksi penguapan dan kecepatan air permukaan dan juga dapat menyuplai bahan organik tanah sehingga memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah (Anwarudinsyah et al., 1993; Rizal dan Hariastuti, 2001). Terkendalinya laju evapotranspirasi diharapkan dapat menjaga lengas tanah atau kadar air tanah sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman di lahan rawa lebak pada musim kemarau
Pemberian mulsa dapat ditunjang dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage) untuk menciptakan keadaan tanah yang baik kerena dapat meningkatkan aerasi, menurunkan kepadatan tanah, meratakan tanah sampai siap tanam dan mematikan gulma    (Ar-Riza, 2005). Selain itu, teknologi yang paling aman, murah dan ramah lingkungan untuk mengatasi berbagai masalah yang dijumpai di lahan rawa lebak dapat dilakukan dengan cara menggunakan berbagai varietas unggul yang dapat beradaptasi dengan lingkungan setempat (Mawardi, 2002).
Putri malu tumbuh liar ditepi jalan, lapangan terlantar, dan tempat-tempat terbuka yang terkena sinar matahari. Tumbuhan asli Amerika tropis ini dapat ditemukan pada ketinggian 1-1200 mdpl. Terna, cepat berkembang biak, tumbuh memanjat atau berbaring, tinggi 0,3-1,5 m. Batang bulat, berambut dan berduri tempel. Daun berupa daun majemuk menyirip genap ganda dua yang sempurna. Jumlah anak daun setiap sirip 5-26 pasang. Helaian anak daun berbentuk memanjang sampai lanset, ujung runsing, pangkal membundar, tepi rata, permukaan atas dan bawah licin, panjang 6-19 mm, lebar 1-3 mm, berwarna hijau, umumnya tepi daun berwarna ungu, jika daun tersentuh akan melipat diri (mengkerut). Bunga bula, berbentuk seperti bola, bertangkai dan berwrna ungu. Buah berbentuk polong, pipih, berbentuk garis. Biji bulat dan pipih.Dahulu putri malu dijual dengan nama buntu silit dan daun pis kucing. Biasanya daun tumbuhan ini diletakkan di bawah bantal anak supaya cepat tidur. Putri malu dapat diperbanyak dengan biji (Irsyah,2008).
 
DAFTAR PUSTAKA
Andrey. 2010. Mengenal Hama Tanaman Cabai. http://andreysubiantoro.viviti.com/entries/sda/mengenal-hama-tanaman-cabai-1 . diakses pada tanggal 11 Desember 2010.
Anwarudinsyah. M., E. Sukarna dan Satsijati. 1993. Pengaruh tanaman lorong dan mulsapangkasan terhadap produksi tomat dan bawang merah dalam lorong. Jurnal Hotikultura Vol. 3(1). 1993. Badan Litbang Pertanian. Puslitbangtan Hortikultura.
Ar-Riza, I 2005. Pedoman teknis budidaya padi di lahan lebak. Balittra, Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Cahyono , Bambang.Ir.  2003. Cabai Paprika, Teknik Budi Daya & Analisis Usaha Tani.  Penerbit kanisus (anggota IKAPI) Yogyakarta.
Djafaruddin. 2000. Dasar-dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta.
Djamin, H.A., 1985.  Pengendalian Hama Secara Hayati. Universitas Islam Sumatera Utara, Fakultas Pertanian, Medan. 63 hal.
Endros 2008. Teknologi Pedesaan. http://endros-ruraltechnology.blogspot.com. Diakses pada tanggal 12 Desember 2010.
HDR Farm Agrobisnis. 2010. Hama Tanaman Cabai. http//www.hdrfarm.com. Diakses pada tanggal 12 Desember 2010.
Hidayat, SH. 2006. Geminivirus di Indonesia: Karakter biologi dan molekuler serta permasalahannya. Makalah dalam pertemuan POKJA Penanggulangan Virus Kuning pada Cabai. Bukittinggi 23-25 Agustus 2006.
Koesriharti; Moch. Dawam Maghfoer; dan Nurul Aini.1999. Pengaruh Tingkat dan Fase Pemberian Air Terhadap Tingkat Kerontokan Buah Pada 10 Kultivar Tanaman Lombok Besar (Capsicum annuum L). Dalam Agrivita Vol.21 No.1 Juli - September 1999. (ISSN 0126-0537). Jurnal Ilmu Pertanian Fak. Pertanian Unibraw. Malang. Hal. 1-19.
Kuswadi,  2001.  Panduan Lalat buah  Bractocera sp. di lapangan.  Panduan Teknis Direktorat Perlindungan Tanaman, Jakarta.
Lamont, W.J. 1993. Plastic Mulches for The Production of Vegetable Crops. Hort Technology : 3(1):35-39.
Mawardi, 2002. Pembentukan varietas unggul padi spesifik lokasi di lahan rawa berperan penting dalam meningkatkan produksi padi nasional. Dalam Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia.
Pracaya, 1999. Hama Dan Penyakit Tanaman.  Penerbit PT. Penebar Swadaya Cimanggis Bogor.
Prijono Joko. 1999. Prospek dan strategi pemanfaatan insektisida alami dalam PHT. Dalam Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami. PKPHT. IPB. Bogor. 9-13 Agustus 1999.
Purnomo, Hari. 2010.  Pengantar Pengendalian Hayati. C.V Andi Offset. Yogyakarta.


1 komentar: